@f3a_septiani
Hei.
Namaku Fitria Septiani. Anak pedesaan yang tinggal di Pulau Lombok. Usiaku 22
tahun lebih 45 hari (dihitung dari) sejak aku nulis ini. Ah, biar nggak
pusing-pusing ngehitung, tak kasih tahu aja langsung tanggal lahirku. Ini dia,
15 Maret 1993. Hmm, kenapa sih mesti repot-repot bahas berthday-ku? Mungkin kamu kepikiran begitu ya.
Jadi
gini, di usiaku yang udah sematang itu, orang yang nggak kenal aku, pasti ngira
aku anak baru gede. Atau kalaupun dikenal, tapi nggak pernah dilihat, terus
ketika ditanyain, “Kamu sekolah di mana?” Lalu pas aku jawab, “Udah kuliah…”
Tahu apa komentarnya? “Astaga, tak kirain masih Esempe.” Malahan ada lagi nih yang lebih parah. Aku dikiranya
bohong kalau kasih tahu aku udah kuliah. Yach, karena malas berdebat, langsung
aja aku iya-in penaksiran orang itu.
Lho,
kenapa bisa begitu? Kurasa udah bisa ditebak. Ya karena tubuh aku yang mungil
ini. Meskipun tinggiku semampai. Tapi ukuran tubuhku yang kurang dari kapasitas
tubuh ramping ini, menyebabkan aku terlihat mungil. BB-ku ±43 kg, tapi kayaknya
nggak mungkin lebih deh. Kira-kira kayak tubuhnya Aming ─artis yang punya
kelainan itu─ Hihi. Om Aming, peace ya!
Kalau
dipikir-pikir sih, nggak rugi juga kok dibilang anak Esempe. Yang penting nggak dibilang anak Esde aja. Hah, nggak tahu deh gimana rasanya kalau dikira kayak
gitu. Tapi, nggak tahu, apa Tuhan ingin bermain-main denganku atau gimana. Suatu
hari, eh malah beneran ada orang yang anggap aku kayak anak Esde. Ceritanya, ada mahasiswa yang lagi
PKL di desaku. Kelihatannya─atau kalau nggak aku yang kepedean─tuh cowok suka sama aku. Cuman ─aku dapat info dari orang
lain─ karena dia kira aku anak Esde,
dia jadi nggak mau dekatin aku. Hahahaha. KOPLAK!! Sekecil itukah tubuhku
sampai dikira aku anak Esde?! Peace,
Tuhan….
Sebenarnya
aku nggak masalah sih dengan bentuk tubuhku ini. Maaf sebelumnya ya, tapi kalau
disuruh milih tubuh gendut atau kurus, tentu aku lebih milih kurus begini.
Nggak ribet kalau milih baju di toko, semua pas. Kecuali celana jeans ya,
ukuran “S” mesti dikecilin lagi ke tukang jahit. Cuman yang jadi masalah adalah
sifatku. Gara-gara sering dibilangin kayak anak Esempe, aku jadi terseret ke suasana kanak-kanakan. Sifat dewasaku
jadi nggak pernah nampak. Ingat, sifat loh ya. Bukan fikiran. Soalnya kalau
fikiran sih udah dewasa. Nah lho, jangan pikirannya ngelantur ya. Yang aku
maksud berfikir dewasa itu, aku udah mikirin ke depannya aku harus kayak
gimana. Melakukan perencanaan dari sekarang buat ngeraih apa aja yang jadi impian
di masa depanku.
Aku
sendiri nggak tahu sih, karakteristik dari sifat yang dikatakan dewasa itu
kayak gimana. Tapi kalau dilihat dari caraku yang sangat akrab dengan adikku
yang masih kecil, sampai aku ikutan bermain dengan dia. Aku jadi berfikir, “Oh,
beneran kali ya. Sifat anak kecil itu masih nancep dalam diriku.” Yang jadi
perbandingan lagi, kalau aku melihat gimana teman-teman cewek aku berdandan dan
cara mereka bergaul, persepsi tentang diriku yang “kekanak-kanakan” itu semakin
kuat.
Oke,
orang lain mungkin nggak tahu apa yang aku rasa, tapi di sini, aku ingin kasih
tahu pada dunia. Aku ingin sekali menjadi seorang cewek yang punya sifat
dewasa, sesuai dengan usiaku saat ini. Tentu aja bukan kebanggaan namanya kalau
aku terus-terusan dibilangin kayak anak kecil. Meskipun kalau aku diberi
permintaan oleh Tuhan, aku pengen balik jadi anak kecil, tapi bukan dianggap
seperti anak kecil begini. Bedakan ya! Hiks hiks hiks….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar