Selasa, 13 Mei 2014

Bicycle and Me

Ini dia pengalaman kurusku
Bandung dulu baru Jakarta
Senyum dulu baru dibaca
hehe, selamat menikmati J






















Bicycle and Me @veniPNT
Waktu itu pas pulang sekolah aku melihat pemandangan yang sungguh menggugah selera. Sepeda yang masih kukayuh kupelankan. Di bawah terik matahari, aku bisa melihat dengan jelas warna merah kecoklatan yang berada di sela-sela tulang iga itu. Warnanya mengkilat karena minyak. Silau mata ini memandangnya. Aku begitu menikmati pemandangan itu sampai ketika iga itu dibalik oleh seorang ibu-ibu muda. Dia adalah ibu temanku. Rudiman, pemilik iga yang merah itu karena olesan minyak tanah dan gesekan uang logam kuning 500 rupiah. Hari ini ternyata dia benar-benar sakit. Merah bekas kerokan itu menjadi saksi bisu.
“Woy! Iga bakar!” ledekku sembari menjulurkan lidah.
“Awas kamu!”,  umpatnya. “Kamu iga penyet! Gepeng!” tambahnya.
Sepedaku mendecit karena kurem mendadak. Sial! Tapi memang ini semua salahku karena aku yang meledeknya duluan. Huft. Kugenjot sepeda dengan sekuat tenaga,meski mungkin aku masih saja bisa dikalahkan dengan orang berlari. Tentu saja. Tenagaku tak seberapa, karena hanya disokong oleh sedikit daging yang menyelimuti tulangku. Orang yang melihatku akan mengalihkan pandangannya dengan segera. Menurut mereka aku tak sedap dipandang dan orang yang berlama memandangku hanya akan membuat mata katarak. *mode memelas : ON L. Bahkan ada yang mengumpamakan aku sebagai manusia berduri. Itu karena tulangku terlihat terlalu jelas, seperti hendak melompat alias menonjol. *parah!
Sepedaku semakin melaju dengan cepat dan huaaaaa....! Aku lupa kalau setelah ini akan ada jalan menurun! Dan remku blong. Perfect! Ayam dipinggir jalan memandangku dengan khidmat sembari memberi hormat karena kaos oblong yang kukenakan berkibar layaknya bendera. Saat kurasakan tubuhku semakin ringan, kugenggam setang sepedaku dengan sangat erat. Aku takut kalau aku juga ikut berkibar seperti kaos yang kukenakan. Sepeda ini meluncur dengan cepat seperti tanpa membawa beban. Keringat dingin mulai membasaahi tanganku ketika aku sampai di akhir jalan menurun. Sepedaku oleng karena aku tak mampu mengontrolnya. Dan... Gdubraaaaakkk..........!!! Sepeda yang masih meluncur itu mencium batang pohon di pinggir jalan dengan mesra. Aku pun dicampakannya. Tergeletak tak berdaya di samping sepeda imutku.
Aku terdiam sebentar. Merenungi diriku yang sial ini. Bukannya menahan kecepatan laju sepeda, tubuhku ini malah menyokongnya. Menjadi faktor utama aku terkapar di sini. Di atas tanah yang keras. Tentu saja. Hal ini karena tubuhku yang begitu ringan dan aku yang tak bertenaga. Mungkin inilah nasib yang harus kulalui *memelas :’(. Selain itu aku juga kerap dimarahi ibu karena selalu gesit dalam menghabiskan makanan. Bahkan terkadang sehari aku bisa makan 6 piring. Tapi tubuhku tak menunjukkan efek dari makanan yang kumakan, makanya ibu marah. Katanya ibu rugi ngurus aku. Hmphh...
Tapi aku juga lumayan bersyukur dengan tipe tubuhku ini. Sepedaku sudah 3 tahun menjadi teman setiaku dan tidak pernah rusak. Terutama ban. Ban sepedaku selama ini tak pernah ganti. Yupz tentu saja, semua ini karena sepedaku ini hanya menopang beban yang begitu ringan. Makanya awet dan tetap bagus, kecuali karena kecelakan ini. Ban sepedaku penyok. Tiba-tiba kepalaku berdenyut dan pandanganku mengabur. Aku kemudian terlelap.
Aku mendengar suara tangisan ibu. Astaga...! Ternyata tadi aku pingsan. Kemudian aku mendengar dengan jelas ibu bersuara disela isak tangisnya.“Oalah nduk, cepet bangun. Nanti ibu beliin kamu mi ayam 5 mangkok nduk. Huhuhu”

Mataku segera terbuka! Ini baru namanya rezeki nomplok! :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar